Senin, 25 November 2013

PENGARUH PENERAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) TERHADAP PROFITABILITAS PERUSAHAAN

Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat meningkat tujuh kali lipat sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 2000. Perdagangan internasionalnya dengan label perusahaan multinasional, yang beroperasi di luar Amerika Serikat, bahkan bertumbuh dengan cepat. Indeks Dow Jones yang secara luas digunakan sebagai indikator nilai saham-saham di Bursa New York pun meningkat dari 3.000 pada tahun 1990 menjadi 11.000 pada tahun 2000. Meski saat ini Amerika tengah mengalami masalah ekonomi, namun senat menyetujui permintaan Presiden Barrack Obama, untuk menyuntik dana sebesar lebih dari 900 Milyar Dollar agar masalah keuangan dapat segera teratasi.
Tidak salah, apabila setiap perusahaan berjuang sekeras mungkin menjalankan roda bisnisnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.Termasuk dalam menghadapi dunia ekonomi yang sedang bermasalah seperti yang terjadi sekarang ini. Namun, indikator-indikator ekologi menunjukkan akibat kebijakan yang salah dari growth mania di kalangan pelaku bisnis, menyebabkan degradasi lingkungan yang luar biasa. Perlunya upaya pemeliharaan ekosistem yang menjadi pendukung kehidupan perusahaan harus ditanamkan sejak perusahaan itu berdiri (Brown, Eco-Economy, 2000).
Sesuai dengan hukum alam, pendapatan yang berasal dari pemanfaatan fasilitas akan berkelanjutan bila daya dukungan alam tersebut dipelihara. Jika daya dukung lingkungan tersebut rusak, pendapatan masyarakat sekitar akan menurun dan mereka akan menganggap perusahaan sebagai penyebabnya.
Ada satu pesan yang disampaikan oleh lumpur panas Lapindo Brantas Inc., di Sidoarjo, Jawa Timur. Betapa kuatnya hukum keseimbangan lingkungan dalam mengatur nasib kita. Bila keseimbangan itu dirusak, alam akan bereaksi membuat keseimbangan baru yang mengejutkan. Rusaknya lingkungan membuat hancurnya perusahaan yang mencoba menguasai lingkungan tersebut melalui rekayasa yang sudah melewati batas.
Lokasi Lapindo Brantas adalah bekas tambang minyak yang ditinggalkan karena dianggap tidak ekonomis lagi. Lokasi ini kemudian menjadi pemukiman penduduk yang cukup padat. Usaha untuk mendapatkan gas bumi dari “sisa” tambang tersebut, pastilah mengandung biaya tak terduga. Lumpur Lapindo menjadi contoh nyata, bagaimana rusaknya sistem lingkungan oleh perilaku manusia yang kelewat batas. Akibatnya, berbagai fasilitas umum menjadi korban amukan lumpur panas, mulai dari perumahan warga, pabrik, jalan raya, jalan tol, jalan kereta api, sampai jalan layang. Tentu saja semua akibat itu harus ditanggung secara bersama-sama, bukan hanya oleh Lapindo Brantas.
Kemudian pada 22 Februari 2006, di tempat lain, sekitar 500 warga Kampung Kali Kabur dan Banti, distrik Tembagapura menutup ruas jalan dan pemukiman karyawan PT Freeport Indonesia ke lokasi pengolahan dan penambangan Grasberg. Akibatnya, PT Freeport Indonesia menutup sementara kegiatan kantornya dan menghentikan produksi.
Kerusakan lingkungan yang sangat tragis terjadi pula pada lokasi penambangan timah inkonvensional di bibir pantai Pulau Bangka, Belitung, dengan terjadinya pencemaran air permukaan laut dan perairan umum, lahan menjadi tandus, kolong-kolong tidak terawat, terjadi abrasi pantai, dan kerusakan cagar alam. Diperkirakan perlu waktu setidaknya 150 tahun untuk pemulihannya (Kompas, 14 Oktober 2006). Lebih tragis lagi, kerusakan tersebut tidak ada pertanggungjawabannya, karena kegiatan penambangan dilakukan oleh penambangan rakyat tak berizin (PETI) yang mengejar setoran kepada PT Timah Tbk., yang sebelumnya menguasai kegiatan penambangan dan perdagangan timah tersebut.
Inilah sejemput contoh jebakan pemikiran bahwa bisnis hanya mencari untung semata di sektor pertambangan. Akibatnya industri pertambangan di berbagai dunia sering dituduh sebagai penyumbang pencemaran dan degradasi lingkungan di berbagai wilayah perairan, termasuk pesisir. Sebagian dari tuduhan tersebut sering tidak bisa dibuktikan dengan bukti-bukti yang kuat (false accusation), sebagian lagi sudah dibawa ke pengadilan dan bahkan ada yang dinyatakan bersalah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Pasal 41 ayat (1) mengatakan: “Barangsiapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah.”. Selanjutnya, Pasal 42 ayat (1) menyatakan: “Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah.”
Pada saat banyak perusahaan menjadi semakin berkembang, maka pada saat itu pula kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan sekitarnya dapat terjadi. Karena itu mucul pula kesadaran untuk mengurangi dampak negatif ini. Banyak perusahaan swasta kini mengembangkan apa yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR). Banyak penelititan yang menemukan terdapat hubungan positif antara tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) dengan kinerja keuangan, walaupun dampaknya dalam jangka panjang. Penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost, melainkan investasi perusahaan (Erni, 2007).
Tanggung jawab sosial perusahaan menunjukkan kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas daripada hanya sekedar kepentingan perusahaan saja. Tanggung jawab sosial dari perusahaan (Corporate Social Responsibility) merujuk pada semua hubungan yang terjadi antara sebuah perusahaan dengan semua stakeholder, termasuk didalamnya adalah pelanggan ataucustomers, pegawai, komunitas, pemilik atau investor, pemerintah, supplier bahkan juga kompetitor. Pengembangan program-program sosial perusahaan berupa dapat bantuan fisik, pelayanan kesehatan, pembangunan masyarakat (community development), outreach, beasiswa dan sebagainya (Erni, 2007).
Masyarakat sekarang lebih pintar dalam memilih produk yang akan mereka konsumsi. Sekarang, masyarakat cenderung untuk memilih produk yang diproduksi oleh perusahaan yang peduli terhadap lingkungan dan atau melaksanakan CSR. Survei yang dilakukan Booth-Harris Trust Monitor pada tahun 2001 menunjukkan bahwa mayoritas konsumen akan meninggalkan suatu produk yang mempunyai citra buruk atau diberitakan negatif. Banyak manfaat yang diperoleh perusahaan dengan pelaksanan corporate social responsibility, antara lain produk semakin disukai oleh konsumen dan perusahaan diminati investor. Corporate social responsibility dapat digunakan sebagai alat marketing baru bagi perusahaan bila itu dilaksanakan berkelanjutan. Untuk melaksanakan CSR berarti perusahaan akan mengeluarkan sejumlah biaya. Biaya pada akhirnya akan menjadi beban yang mengurangi pendapatan sehingga tingkat profit perusahaan akan turun. Akan tetapi dengan melaksanakan CSR, citra perusahaan akan semakin baik sehingga loyalitas konsumen makin tinggi. Seiring meningkatnya loyalitas konsumen dalam waktu yang lama, maka penjualan perusahaan akan semakin membaik, dan pada akhirnya dengan pelaksanaan CSR, diharapkan tingkat profitabilitas perusahaan juga meningkat (Satyo, MediaAkuntansi Edisi 47, 2005; 8).
Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan DAMPAK POSITIF dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri maupun para stakeholder yang terkait. Program CSR yang berkelanjutan diharapkan akan dapat membentuk atau menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercipta kemandirian dari masyarakat yang terlibat dalam program tersebut.
Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar