Senin, 25 November 2013

PENGARUH PENERAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) TERHADAP PROFITABILITAS PERUSAHAAN

Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat meningkat tujuh kali lipat sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 2000. Perdagangan internasionalnya dengan label perusahaan multinasional, yang beroperasi di luar Amerika Serikat, bahkan bertumbuh dengan cepat. Indeks Dow Jones yang secara luas digunakan sebagai indikator nilai saham-saham di Bursa New York pun meningkat dari 3.000 pada tahun 1990 menjadi 11.000 pada tahun 2000. Meski saat ini Amerika tengah mengalami masalah ekonomi, namun senat menyetujui permintaan Presiden Barrack Obama, untuk menyuntik dana sebesar lebih dari 900 Milyar Dollar agar masalah keuangan dapat segera teratasi.
Tidak salah, apabila setiap perusahaan berjuang sekeras mungkin menjalankan roda bisnisnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.Termasuk dalam menghadapi dunia ekonomi yang sedang bermasalah seperti yang terjadi sekarang ini. Namun, indikator-indikator ekologi menunjukkan akibat kebijakan yang salah dari growth mania di kalangan pelaku bisnis, menyebabkan degradasi lingkungan yang luar biasa. Perlunya upaya pemeliharaan ekosistem yang menjadi pendukung kehidupan perusahaan harus ditanamkan sejak perusahaan itu berdiri (Brown, Eco-Economy, 2000).
Sesuai dengan hukum alam, pendapatan yang berasal dari pemanfaatan fasilitas akan berkelanjutan bila daya dukungan alam tersebut dipelihara. Jika daya dukung lingkungan tersebut rusak, pendapatan masyarakat sekitar akan menurun dan mereka akan menganggap perusahaan sebagai penyebabnya.
Ada satu pesan yang disampaikan oleh lumpur panas Lapindo Brantas Inc., di Sidoarjo, Jawa Timur. Betapa kuatnya hukum keseimbangan lingkungan dalam mengatur nasib kita. Bila keseimbangan itu dirusak, alam akan bereaksi membuat keseimbangan baru yang mengejutkan. Rusaknya lingkungan membuat hancurnya perusahaan yang mencoba menguasai lingkungan tersebut melalui rekayasa yang sudah melewati batas.
Lokasi Lapindo Brantas adalah bekas tambang minyak yang ditinggalkan karena dianggap tidak ekonomis lagi. Lokasi ini kemudian menjadi pemukiman penduduk yang cukup padat. Usaha untuk mendapatkan gas bumi dari “sisa” tambang tersebut, pastilah mengandung biaya tak terduga. Lumpur Lapindo menjadi contoh nyata, bagaimana rusaknya sistem lingkungan oleh perilaku manusia yang kelewat batas. Akibatnya, berbagai fasilitas umum menjadi korban amukan lumpur panas, mulai dari perumahan warga, pabrik, jalan raya, jalan tol, jalan kereta api, sampai jalan layang. Tentu saja semua akibat itu harus ditanggung secara bersama-sama, bukan hanya oleh Lapindo Brantas.
Kemudian pada 22 Februari 2006, di tempat lain, sekitar 500 warga Kampung Kali Kabur dan Banti, distrik Tembagapura menutup ruas jalan dan pemukiman karyawan PT Freeport Indonesia ke lokasi pengolahan dan penambangan Grasberg. Akibatnya, PT Freeport Indonesia menutup sementara kegiatan kantornya dan menghentikan produksi.
Kerusakan lingkungan yang sangat tragis terjadi pula pada lokasi penambangan timah inkonvensional di bibir pantai Pulau Bangka, Belitung, dengan terjadinya pencemaran air permukaan laut dan perairan umum, lahan menjadi tandus, kolong-kolong tidak terawat, terjadi abrasi pantai, dan kerusakan cagar alam. Diperkirakan perlu waktu setidaknya 150 tahun untuk pemulihannya (Kompas, 14 Oktober 2006). Lebih tragis lagi, kerusakan tersebut tidak ada pertanggungjawabannya, karena kegiatan penambangan dilakukan oleh penambangan rakyat tak berizin (PETI) yang mengejar setoran kepada PT Timah Tbk., yang sebelumnya menguasai kegiatan penambangan dan perdagangan timah tersebut.
Inilah sejemput contoh jebakan pemikiran bahwa bisnis hanya mencari untung semata di sektor pertambangan. Akibatnya industri pertambangan di berbagai dunia sering dituduh sebagai penyumbang pencemaran dan degradasi lingkungan di berbagai wilayah perairan, termasuk pesisir. Sebagian dari tuduhan tersebut sering tidak bisa dibuktikan dengan bukti-bukti yang kuat (false accusation), sebagian lagi sudah dibawa ke pengadilan dan bahkan ada yang dinyatakan bersalah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Pasal 41 ayat (1) mengatakan: “Barangsiapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah.”. Selanjutnya, Pasal 42 ayat (1) menyatakan: “Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah.”
Pada saat banyak perusahaan menjadi semakin berkembang, maka pada saat itu pula kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan sekitarnya dapat terjadi. Karena itu mucul pula kesadaran untuk mengurangi dampak negatif ini. Banyak perusahaan swasta kini mengembangkan apa yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR). Banyak penelititan yang menemukan terdapat hubungan positif antara tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) dengan kinerja keuangan, walaupun dampaknya dalam jangka panjang. Penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost, melainkan investasi perusahaan (Erni, 2007).
Tanggung jawab sosial perusahaan menunjukkan kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas daripada hanya sekedar kepentingan perusahaan saja. Tanggung jawab sosial dari perusahaan (Corporate Social Responsibility) merujuk pada semua hubungan yang terjadi antara sebuah perusahaan dengan semua stakeholder, termasuk didalamnya adalah pelanggan ataucustomers, pegawai, komunitas, pemilik atau investor, pemerintah, supplier bahkan juga kompetitor. Pengembangan program-program sosial perusahaan berupa dapat bantuan fisik, pelayanan kesehatan, pembangunan masyarakat (community development), outreach, beasiswa dan sebagainya (Erni, 2007).
Masyarakat sekarang lebih pintar dalam memilih produk yang akan mereka konsumsi. Sekarang, masyarakat cenderung untuk memilih produk yang diproduksi oleh perusahaan yang peduli terhadap lingkungan dan atau melaksanakan CSR. Survei yang dilakukan Booth-Harris Trust Monitor pada tahun 2001 menunjukkan bahwa mayoritas konsumen akan meninggalkan suatu produk yang mempunyai citra buruk atau diberitakan negatif. Banyak manfaat yang diperoleh perusahaan dengan pelaksanan corporate social responsibility, antara lain produk semakin disukai oleh konsumen dan perusahaan diminati investor. Corporate social responsibility dapat digunakan sebagai alat marketing baru bagi perusahaan bila itu dilaksanakan berkelanjutan. Untuk melaksanakan CSR berarti perusahaan akan mengeluarkan sejumlah biaya. Biaya pada akhirnya akan menjadi beban yang mengurangi pendapatan sehingga tingkat profit perusahaan akan turun. Akan tetapi dengan melaksanakan CSR, citra perusahaan akan semakin baik sehingga loyalitas konsumen makin tinggi. Seiring meningkatnya loyalitas konsumen dalam waktu yang lama, maka penjualan perusahaan akan semakin membaik, dan pada akhirnya dengan pelaksanaan CSR, diharapkan tingkat profitabilitas perusahaan juga meningkat (Satyo, MediaAkuntansi Edisi 47, 2005; 8).
Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan DAMPAK POSITIF dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri maupun para stakeholder yang terkait. Program CSR yang berkelanjutan diharapkan akan dapat membentuk atau menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercipta kemandirian dari masyarakat yang terlibat dalam program tersebut.
Sumber:

Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi dalam Lingkup Kejahatan Bisnis

PENDAHULUAN
Perkembangan korporasi pada permulaan jaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya makin kompleks. Inggris sejak abad XIV sudah menjadi pusat perdagangan wool dan tekstil yang diekspor ke daratan Eropa. Kemajuan ini juga ditandai dengan didirikannya beberapa usaha dagang bangsa Turki. Pembentukan beberapa usaha dagang / perusahaan ini merupakan embrio korporasi pada jaman sekarang. Pertumbuhan korporasi di tanah air semakin meningkat dalam berbagai usaha. Berbagai produk dan jasa dihasilkan dalam jumlah besar, begitu pula ribuan dan bahkan jutaan orang terlibat dalam kegiatan korporasi. Dengan memasarkan produknya, maka korporasi sekaligus mempengaruhi dan ikut menentukan pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa, sebab dalam kenyataannya bukan produsen yang harus menyesuaikan permintaan konsumen, akan tetapi justru sebaliknya konsumen yang akan menyesuaikan kebutuhannya dengan produk-produk yang dihasilkan oleh korporasi.
Perkembangan yang pesat dari korporasi ini terutama dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan masyarakat itu sendiri, yakni perkembangan masyarakat agraris ke masyarakat industri dan perdagangan (internasional) pada dasawarsa terakhir ini. Ciri masyarakat industri adalah dengan munculnya korporasi sebagai pelaku ekonomi atau subyek hukum. Korporasi dalam perkembangan- nya dapat memperoleh hak (dan kewajiban) yang dimiliki oleh manusia, seperti dapat membuat sebuah kontrak, dapat menuntut dan dituntut, namun korporasi tetap berbeda dengan subyek hukum manusia yakni pada sifatnya yang tidak memiliki jangka waktu hidup, dalam arti dia bisa hidup selama- lamanya.

Indonesia saat ini dilanda kriminalitas kontemporer yang mengancam lingkungan hidup, sumber energi dan pola-pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan Bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat iklan besar-besaran dan berbagai pola kejahatan korporasi lainnya. Seiring dengan perkembangan arus globalisasi dan teknologi informasi dalam era milenium ini, telah mendorong munculnya beberapa jenis dan istilah kejahatan yang sebetulnya secara substansial bukan “barang baru”, namun ‘”barang lama” yang telah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kejahatan yang lebih modern dan lebih canggih. Modus operandi yang digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut dahulu tidak dikenal dan tidak pernah dipikirkan oleh para pelaku kejahatan, namun saat ini menjadi suatu ‘trend’ modus kejahatan. Hal ini ditegaskan pula oleh Sutan Remy Sjahdeini yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa perkembangan kejahatan tampak pada penggunaan istilah-istilah baru misalnya: istilah corporate crime, business crime, economic crime yakni kejahatan ekonomi atau kejahatan terhadap ekonomi (crime against economy), istilah financial abuse yang memiliki pengertian sangat luas termasuk bukan saja aktivitas ilegal yang mungkin merugikan sistem keuangan (financial system), tetapi juga aktivitas-aktivitas lain yang bertujuan menghindari kewajiban pembayaran pajak (tax evasion), atau istilah financial crime yang merupakan subset dari financial abuse yang dalam pengertian sempit dapat diartikan sebagai non-violent crime yang pada umumnya dapat menyebabkan kerugian keuangan (financial loss) yang menggunakan atau melalui lembaga keuangan.(Romli Atmasasmita, 2003:1-3).

KEJAHATAN KORPORASI
Pertama-tama, perlu untuk diketahui asal-usul kata “korporasi” terlebih dahulu, sebelum masuk di dalam substansi pemahaman kejahatan korporasi. Kata korporasi atau Corporatie (Belanda), Corpo- ration (Inggris) berasal dari bahasa latin yaitu “Corporatio”, sebagai suatu kata benda (sub- stantitum) yanng berasal dari kata kerja “Corporare”. Corporare sendiri berasal dari kata “Corpus” (Indonesia= Badan) yang dapat diartikan memberi badan atau membadankan. Jadi kata “Corporatio” itu berarti hasil dari kerja membadankan, dengan kata lain perkataan badan yang dijadikan orang, yaitu badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam. (Soetan dan Malikoel, 1983:82). Beberapa pendapat dikemukakan untuk lebih memahami keberadaan korporasi sebagai suatu badan hukum, antara lain pendapat: Sudikno Mertokusumo: menjelaskan apa yang dimaksud dengan badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban (Sudikno,1988:53); Subekti: pada pokoknya, badan hukum atau perkumpulan dapat memiliki hak-hak melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim. Jadi rechtspersoon artinya orang yang diciptakan oleh hukum (Subekti, 1996:48).
Korporasi terbentuk ketika orang-orang mulai berhimpun (mengorganisasikan diri) untuk keperluan mengumpulkan kapital (modal). Dalam korporasi, modal dihimpun dengan mengikutsertakan pihak- pihak luar (yang bahkan melampaui batas-batas negara). Secara hukum, lembaga penghimpun kapital ini berkembang dan kemudian berdiri sendiri, terlepas dari orang-orang yang menyertakan modalnya. Untuk menjalankan lembaga ini ada pengurusnya tersendiri, yaitu manajemen lengkap dengan jajaran direksi dan manajernya. Korporasi yang adalah perkumpulan orang yang mempunyai kepentingan, di mana orang- orang tersebut merupakan anggota dari korporasi dan anggota yang mempunyai kekuasaan dalam pengaturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi. Sebagai badan yang didirikan dengan motif ekonomi, maka tujuan utamanya adalah mencari keuntungan, sehingga korporasi dalam hal ini akan memasuki usaha-usaha yang dapat menghasilkan keuntungan. Pengertian korporasi atau badan hukum dapat dirinci menjadi 2 (dua) golongan jika dilihat dari perspektif cara mendirikan dan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu: 1. Korporasi Egoistis yaitu korporasi yang menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, terutama harta kekayaan, misalnya Perseroan Terbatas, Serikat Pekerja; 2. Korporasi yang Alturistis yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, seperti per- himpunan yang memperhatikan nasib orang-orang tuna netra, penyakit tbc, penyakit jantung, penderita cacat, dan sebagainya (Chidir Ali, 1987:74)
Kejahatan korporasi menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya korban yang diakibatkannya. Dalam lingkup kejahatan korporasi, korban dari tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tidak lagi dapat dikualifikasikan sebagai korban yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan pelaku (unrelated victims atau non participating victims), tetapi ada interelationship antara pelaku dan korban. 
Sebagai akibat kejahatan korporasi yang melanggar hak milik intelektual, kompetisi yang tidak sehat, praktek monopoli, tindakan merugi- kan perusahaan lain. Dalam menghadapi persaingan, korporasi dihadapkan pada penemuan- penemuan teknologi baru, teknik pemasaran, usaha memperluas atau menguasai pasaran. Keadaan ini bisa menghasilkan tindakan korporasi untuk memata-matai saingannya, meniru, memalsukan, mencari, menyuap atau mengadakan persekongkolan mengenai harga atau daerah pemasaran. Hal ini semakin diperburuk dengan berkembangnya suatu pemikiran untuk menerapkan strategi dalam persaingan korporasi (corporate conflict) yang berintikan nilai-nilai: manuver, objective, offense (attacking the enemy or competitor), surprise, economy of force, mass, unity of command, simplicity, security. (Ramsey, 1987:xvii).

Sumber:

PELANGGARAN ETIKA BISNIS PERUSAHAAN ROKOK

Etika adalah suatu abstraksi dalam memahami atau mendefinisikan moral dengan melakukan refleksi atasnya. Etika membahas persoalan moral pada situasi tertentu dengan pendekatan tertentu pula. Sedang moralitas tergantung pada pilihan individu, keyakinan atau agama dalam menentukan hal yang benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas biasanya didefinisikan melalui otoritas tertentu. Artinya, moralitas lebih dipahami sebagai suatu keyakinan untuk menjalani hidup yang baik. Dengan begitu, maka etika dan moral sangat diperlukan dalam setiap langkah yang diambil oleh setiap bangsa untuk melangkah lebih maju tanpa merusak sector lainnya. Namun, pada jaman sekarang ini, etika dan moral seringkali malah dikesampingkan karena adanya ‘kekuasaan uang’.

Seperti yang kita lihat di dalam video Sex, Lies, and Cigarettes, kita seringkali menemukan baliho-baliho, spanduk-spanduk, dan poster-poster iklan yang bertebaran di jalan raya. Sebagian besar dari iklan tersebut ternyata merupakan iklan rokok. Di Indonesia, iklan rokok memang sangat mudah kita jumpai dimanapun kita berada.Bahkan kegiatan olah raga yang sukses di Indonesia, konser-konser musik yang menarik minat anak muda, dan kegiatan besar lainnya, berhasil diadakan di Indonesiaberkat sponsor yang di antaranya merupakan perusahaan rokok. Sementara itu, di sisi lain, saat ini kita sedang terganggu dengan pengaruh dan dampak rokok padakesehatan. Bahkan, mantan Menteri Kehatan kita, Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih, meninggal dunia karena mengidap penyakit kanker paru lanjut akibat terlalu sering menghirup asap rokok. Menurut saya, pemasangan iklan rokok tersebut tentu sudah melanggar etika yang ada. Selain pemasangan iklannya yang menghabiskan spaceatau tempat yang sangat banyak, iklan rokok juga diletakkan di tempat-tempat umum, dimana anak-anak dan usia remaja bisa melihat dan menyalah-artikan arti dari kata-kata dalam iklan yang dipajang tersebut. Iklan rokok memang terkadang menimbulkan kontraversi dari segi makna implisit kata-kata yang dijadikan ikon utamanya. Seperti yang saya kutip dari blog Ade Safroni (2011), ia merupakan seorang remaja yang mengartikan iklan rokok, yang menurutnya sangat jelas maknanya mengajak kita untuk merokok. Seperti misalnya, slogan Talk Less Do More (sedikit bicara, banyak berbuat), Ade mengartikan iklan tersebut memiliki makna implisit mengajak kita untuk merokok, karena menghisap batang rokok akan membuat kita sedikit untuk berbicara, dan seperti kuli bangunan di Indonesia yang sebagian besar merupakan perokok berat, mereka sedikit berbicara, namun tetap bekerja, slogan Buktikan Merahmu, juga ia artikan sebagai buktikan keberanianmu dengan api rokokmu. Tentu hal tersebut tidak akan kita sadari apabila kita acuh terhadap permasalahan rokok disekitar kita.
Bila iklan rokok sudah mengganggu kehidupan kita dengan begitu banyak pengaruh buruknya, lalu dimana peran pemerintah untuk mengatasi hal tersebut? Hal yang tidak saya mengerti adalah ketika pemerintah mengagung-agungkan pendapatan negara yang jumlahnya sangat besar yang mereka dapatkan dari perusahaan rokok. 

Berdasarkan hasil data yang saya kutip dari http://finance.detik.com/ , menunjukkan pemerintah akan meraup keuntungan sebesar 80 triliun dari perusahaan rokok di Indonesia. Namun, seperti yang kita lihat kembali pada video Sex, Lies, and Cigarettes, ternyata banyak sekali pengeluaran yang dilakukan oleh masyarakat kita akibat menjamurnya perusahaan rokok. Pengeluaran-pengeluaran tersebut seperti misalnya pengeluaran untuk membeli rokok dan pengeluaran-pengeluaran akibat penyakit yang diderita oleh masyarakat perokok aktif. Ketika hal ini dikemukakan, pemerintah terkadang mengelak, dan mengatakan bahwa masyarakat kita yang hidup berkat mendapat penghasilan dari rokok juga sangat banyak jumlahnya. Mereka mempertanyakan bagaimana nantinya kehidupan petani tembakau yang hidup dari kebun tembakaunya, pekerja di pabrik rokok yang “hidup” dari rokok, apabila perusahaan rokok ditutup? Menurut saya, justru disanalah peran pemerintah, seluruh bangsa Indonesia, termasuk kita sebagai mahasiswa, untuk bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka, agar mereka dapat bertahan hidup tanpa bergantung pada perusahaan rokok. Pada tahun 2012, jumlah entrepreneur muda di Indonesia sangat meningkat dengan tajam dibandingkan dengan 3 tahun sebelumnya. Hal ini merupakan pencapaian yang cukup baik sebagai langkah awal untuk mengatasi adanya pengangguran dari pembubaran perusahaan rokok di Indonesia. Namun terkadang tidak jarang kita menemukan mahasiswa lulusan universitas ternama yang malah bekerja sebagai kepala cabang perusahaan rokok di Indonesia. Sehingga sulitnya mengatasi masalah rokok juga dikarenakan oleh banyaknya pengusahapribumi yang kaya karena bekerja pada perusahaan rokok, yang tentunya akan sangat menentang adanya hukum tambahan untuk perusahaan rokok. 

Hal ini kembali lagi pada etika dan moral kita sebagai kaum terpelajar menghadapi ‘kekuasaan uang’ demi kepentingan bangsa dan Negara Indonesia. Apakah kita dapat hidup dengan nyaman di atas kesengsaraan orang lain? Tentu seharusnya tidak, karena kita hidup di dunia ini sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial, tentunya kita juga harus peduli pada lingkungan di sekitar kita. Seluruh kegiatan dan aktivitas kita akan memberikan dampak pada orang lain. Hal itulah yang sering kita sebut dengan toleransi sosial. Apabila kita melakukan hal yang positif menurut kita, kita harus menganalisis dulu dampak hal tersebut pada masyarakat disekitar kita. Begitu juga dengan perokok, pengusaha rokok, yang tidak peduli pada lingkungannya, tentunya akan berdampak meningkatkan gangguan kesehatan pada masyarakat lainnya yang tidak merokok. Apalagi masyarakat lainnya yang berperan sebagai perokok pasif akan mendapatkan resiko yang lebih besar dibandingkan dengan perokok aktif.
Kesimpulan yang dapat saya ambil dari paparan diatas adalah walaupun perusahaan rokok memberikan sumbangan yang cukup besar pada negara kita, namun disisi lain perusahaan rokok juga telah menyebabkan masyarakat melakukan pengeluaran-pengeluaran yang cukup banyak untuk pengobatan akibat rokok. Kita tidak bisa mengabaikan etika dan moral hanya karena ‘kekuasaan uang’ yang dimiliki oleh perusahaan rokok tersebut.

Saran maupun solusi yang dapat saya berikan adalah pemerintah sebagai pengatur segala kegiatan perusahaan yang ada di Indonesia, harus dengan tegas menetapkan peraturan-peraturan dan sanksi-sanksi yang tegas untuk perusahaan rokok agar tidak melakukan promosi melalui iklan secara berlebihan. Dan juga, kepada pedagang-pedagang rokok agar menjauhkan diri dari kawasan sekolah, dan tempat-tempat umum lainnya yang biasa dijumpai anak-anak maupun remaja. Selain itu, pedagang juga dilarang menjual rokok per biji atau per batang, karena hal tersebut akan memudahkan masyarakat kelas bawah maupun anak-anak untuk dapat membeli rokok dengan mudah. Sekian pendapat saya mengenai rokok, etika, dan moral, dan saran saya kepada mahasiswa lainnya agar dapat menjadi teladan dengan tidak bekerja pada perusahaan rokok, dengan tegas menentang perusahaan rokok apabila melakukan pelanggaran etika bisnis dan usaha, serta ciptakanlah lapangan kerja bagi negeri sendiri agar Indonesia tidak menjadi negara yang penduduknya menggantungkan pekerjaan pada perusahaan.

Sumber :
http://kesehatan.kompasiana.com/alternatif/2013/01/07/rokok-etika-dan-moral-523091.html